Menteri Keuangan Baru Ditantang Lebih Ekstensifkan Pajak Industri Ekstraktif

Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum. (F. Ist)

Jakarta, jendelakepri.com – Pajak yang ditarik dari industri ekstraktif yang selama ini longgar, akan menaikkan pendapatan negara secara signifikan dan lebih memenuhi unsur keadilan daripada menaikkan PPN 12% bagi warga negara yang sedang menghadapi kelesuan ekonomi. Transisi Bersih melihat argumen yang sangat kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak dari industri ekstraktif, terutama nikel dan batu bara.

Pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa, bisa menjadi momentum untuk memperbaiki iklim perpajakan nasional. Selama ini strategi penerimaan pajak dinilai membebani rakyat dan banyak indikasi kelonggaran untuk kelompok tertentu seperti orang-orang superkaya.

Tahun ini saja, isu pajak pertambahan nilai (PPN) yang hendak dinaikkan menjadi 12% dan pajak daerah yang naik akibat dana transfer berkurang lantaran program efisiensi, mendapatkan penolakan luas di daerah dan kota-kota besar. Masyarakat melihat politik perpajakan berjalan tidak adil. Tututan untuk menurunkan PPN dan menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 7 juta pun sering diajukan agar ekonomi tumbuh dengan daya beli masyarakat yang terjaga.

Dalam hitungan Transisi Bersih, jumlah yang diperoleh negara dari kenaikan pajak yang dikenakan pada tiap transaksi barang dan jasa oleh masyarakat (PPN) tidak cukup signifikan. “Jika PPN menjadi 12%, secara kumulatif  pendapatan negara naiknya lebih kecil dibanding ektensifkan pajak dari sektor ekstraktif. Pajak dari nikel dan batu bara saja berkali-kali lipat lebih besar ,”  ungkap Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum di Jember, Jawa Timur, Selasa (9/9/2025).

Riset Transisi Bersih pada nikel menunjukkan, kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah dan pemberian insentif besar-besaran pada pembangunan smelter juga telah memicu over investment dan over production. Kapasitas smelting nikel di Indonesia naik 15 kali lipat hanya dalam tujuh tahun, dari 200.000 ton pada 2016 menjadi lebih dari 3 juta ton pada 2023, dan berpotensi mencapai 5,5 juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Akibatnya, terjadi surplus produksi yang menekan harga nikel dunia, sementara cadangan nikel Indonesia semakin cepat terkuras.

”Sejauh ini tax holiday, pembebasan bea masuk, dan subsidi energi yang terlalu besar justru menciptakan ketidakadilan: perusahaan asing menikmati keuntungan, sementara rakyat menanggung biaya lingkungan dan sosial,” tutur Rahman.

Akankah pemerintah, dengan menteri keuangan yang baru, lebih berburu pajak ke “belantara yang lebih luas” daripada di “kebun binatang”, sebagaimana praktik selama ini?

Tentang Transisi Bersih

Financial Research Center For Clean Energy (FRCCE) adalah organisasi think-thank yang bergerak dalam penelitian dan advokasi aspek ekonomi dan keuangan energi bersih di Indonesia. Transisi Bersih merupakan gabungan peneliti senior dan junior di bidang ekonomi, keuangan, dan energi terbarukan, serta tim kampanye lingkungan hidup. Transisi Bersih mendorong dan mengawal proses peralihan dari penggunaan energi kotor ke energi bersih dan terbarukan di Indonesia agar berlangsung secara efisien, adil, dan tepat guna serta memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan lingkungan.

FRCCE berdiri pada awal 2023 dan menggunakan nama merek “Transisi Bersih”. Pemilihan nama tersebut mewakili fokus awal kami dalam melakukan penelitian guna mendorong dan mengawal transisi energi ramah lingkungan di Indonesia. (*)